PENDIDIKAN,KESEHATAN,UNIK,ISLAM,AL-QURAN,Keajaiban Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan,MISTERI,HUMOR

Tafsir QS:l-Ghasyiyah [88]: 1-7: " Siksaan Mengerikan di Hari Pembalasan"


Sholat-Thajud-191x275.jpg (191×275)
(Tafsir QS al-Ghasyiyah [88]: 1-7)
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ *وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ *عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (٣)تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً *تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ *لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلا مِنْ ضَرِيعٍ *لا يُسْمِنُ وَلا يُغْنِي مِنْ جُوعٍ *
Sudah datangkah kepada engkau berita (tentang) Hari Pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina; bekerja keras lagi kepayahan; memasuki api yang sangat panas (neraka); diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas; mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar (QS al-Ghasyiyah [88]: 1-7).
Surat ini dinamakan al-Ghâsyiyah, diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Surat yang terdiri atas dua puluh enam ayat ini termasuk Makkiyyah.1 Bahkan menurut asy-Syaukani, Ibnu ‘Athiyah, dan al-Alusi, tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini.2 Rasulullah saw. biasa membaca surat ini dan surat al-A’la pada saat shalat Id dan shalat Jumat. Dari Nu’man bin Basyir ra.:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى) و (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ)
Rasulullah saw. membaca dalam shalat dua Id (Idul Fitri dan Idul Adha) dan shalat Jumat surat ‘Sabbihisma Rabbika al-‘Alâ’ dan  ‘Hal atâka hadîts al-ghâsyiyah’ (HR Muslim).
Jika dalam surat sebelumnya, yakni surat al-‘Ala telah diberitakan secara global tentang orang Mukmin dan kafir, surga dan neraka, maka dalam surat ini perkara tersebut diberitakan lebih luas dan detail.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Hal atâka hadîts al-ghâsyiyah (Sudah datangkah kepada engkau berita [tentang] Hari Pembalasan?). Secara bahasa, pengertian al-ghâsyiyah adalah semua yang menutupi sesuatu, seperti halnya penutup pelana.3 Dalam ayat ini, kata tersebut berarti Hari Kiamat. Demikian penafsiran az-Zamakhsyari, Ibnu Katsir, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan lain-lain.4 Menurut asy-Syaukani dan al-Alusi, ini merupakan pendapat jumhûr al-mufassirîn. 5 Ibnu ‘Abbas, Qatadah, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa al-ghâsyiyah merupakan salah satu nama Hari Kiamat.6 Disebut al-ghâsyiyahkarena Hari Kiamat itu taghsyâ al-khalâiq bi ahwâliha (menyelubungi makhluk dengan menakutkan mereka).7 Di antara dalilnya adalah firman Allah SWT:
يَوْمَ يَغْشَاهُمُ الْعَذَابُ
Pada hari mereka ditutup oleh azab (QS al-Ankabut [29]: 55).
Penafsiran lain diberikan Said bin Jubair dan Muhammad bin Kaab. Keduanya mengatakan bahwa al-ghâsyiyah adalah neraka yang menutupi wajah orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah SWT:
وَتَغْشَى وُجُوهَهُمُ النَّارُ
Muka mereka ditutup oleh api neraka (QS Ibrahim [14]: 50).
Dikatakan Ibnu Jarir, tidak ada yang mengabarkan kepada kita bahwa al-ghâsyiyah itu adalah ghâsyiyah-nya kiamat atau ghâsyiyah-neraka. Keduanya merupakan ghâsyiyah (penutup, penyelubung) yang menyelubungi manusia dengan kesedihan, ketakutan, dan kesusahan. Penutup tersebut menutupi orang-orang kafir dengan angin, kabut dan asap yang panas di wajah. Tidak ada yang lebih absah dari semua pendapat tersebut daripada dikatakan sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dan sebagaimana telah disebutkan keumumannya.8
Adapun kata hal pada awal ayat ini berarti qad (sungguh). Dengan demikian ayat ini berarti: Qad ja’âka yâ Muhammad hadîts al-ghâsyiyah (sungguh telah datang kepada engkau, wahai Muhammad, berita tentang Hari Kiamat).9 Ibnu Abi Hatim dari Amru bin Maimun ra. Berkata: Rasulullah saw. pernah melewati seorang wanita yang sedang membaca: Hal atâka hadîts al-ghâsyiyah. Beliau lalu berdiri seraya mendengarkan dan bersabda, “Ya, sungguh telah datang kepada aku.10
Kemudian diberitakan mengenai nasib segolongan manusia pada hari itu. Allah SWT berfirman: Wujûh[un] yawma‘idz[in] khâsyi’ah (Banyak muka pada hari itu tunduk terhina). Kata yawma’idzin (ketika itu) menunjuk pada Hari Kiamat.Adapun al-khâsi’ah berarti al-dzalîlah,11atau al-dzalîlah al-khâdhi’ah (yang hina lagi tertunduk).12 Dikatakan ar-Razi, kehinaan tampak dalam wajah karena itu merupakan kebalikan dari al-kibr (kemuliaan) yang menjadi tempat kepala dan otak.13 Mengenai wajah yang tunduk terhina pada Hari Kiamat juga diberitakan dalam beberapa ayat lainnya, seperti firman Allah SWT:
خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ
(Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan (QS al-Qalam [68]: 43).
Selanjutnya disebutkan: ‘Âmilah nâshibah (bekerja keras lagi kepayahan).Dhamîr ayat ini kembali pada wujûh (wajah-wajah). Namun, yang dimaksudkan adalah para pemilik wajah tersebut.14 Kata âmilah berarti al-latî ta’malu al-a’mâl (yang mengerjakan berbagai perbuatan). Adapun nâshibah adalah at-ta’ab(kelelahan);15 atau seperti dikemukakan oleh ar-Razi, bermakna al-du`ûb fî al-a’amal ma’a al-ta’ab yang terus-menerus mengerjakan perbuatan yang disertai dengan kepayahan).16
Ada beberapa penjelasan tentang waktu terjadinya peristiwa yang diberitakan ayat ini. Pertama: terjadi di akhirat. Dikatakan Ibnu Jarir, âmilah yakni âmilah di neraka; dan nâshibah di dalamnya. Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh Qatadah.17 Pada Hari Kiamat kelak mereka memang dibebani dengan perbuatan yang amat meletihkan, seperti diseret dengan rantai dan belenggu yang berat.Allah SWT berfirman:
ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta (QS al-Haqqah [69]: 32).
Kedua: terjadi di dunia. Atha‘ dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mengerjakan amal dan keletihan di dunia atas dasar selain Islam, baik dari para penyembah berhala maupun kafir Ahlul Kitab seperti para pendeta dan lain-lain. Allah SWT tidak menerima jerih-payah mereka yang berada dalam kesesatan. Mereka masuk neraka pada Hari Kiamat. Pendapat Said bin Jubair dan Zaid bin Aslam.18
Ketiga: ada yang terjadi di dunia dan ada pula yang terjadi di akhirat. Ikrimah dan as-Sudi mengatakan bahwa ‘âmilah (bekerja keras) di dunia dengan kemaksiatan dan nâshibah  (merasakan kepayahan) di neraka dengan azab dan belenggu.19
Lalu Allah SWT berfirman: Tashlâ nâr[an] hâmiyah (memasuki api yang sangat panas [neraka]). Ibnu ‘Abbas, al-Hasan dan Qatadah menafsirkan nâr[an] hâmiyah sebagai hârrah] syadîdah (sangat panas).20 Inilah tempat kembali mereka di akhirat, neraka.
Kemudian diberitakan tentang gambaran siksa di neraka. Allah SWT berfirman:Tusyqâ min ‘ayn ‘âniyah (diberi minum [dengan air] dari sumber yang sangat panas). Kata al-âni berarti yang panasnya mencapai puncaknya. Berasal dari al-înâ` yang berarti at-ta`khîr (mengakhirkan).21 Di antaranya adalah firman Allah SWT:
يَطُوفُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَمِيمٍ آنٍ
Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air yang mendidih yang memuncak panasnya (QS ar-Rahman [55]: 44).
Para pemilik wajah tersebut diberi minum dari minuman mata air yang dipanaskan hingga mencapai puncak paling panas.22 Alih-alih bisa menhilangkan haus dan menyegarkan mereka, minuman itu justru menambah siksa bagi mereka.
Selanjutnya diberitakan tentang makanan yang diperuntukkan bagi mereka.Allah SWT berfirman: Laysa lahum tha’âm illâ min dharî’ (Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri). Dikatakan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas, dharî’ adalah sebuah pohon di neraka. Ikrimah menyebut pohon itu memiliki duri yang tembus ke bumi.23 Ibnu Zaid menafsirkan adh-dharî’ sebagai asy-syawk min an-nâr (duri dari api). Dikatakan juga bahwa di dunia adh-dharî’ di duniaadalah duri kering yang tidak ada daunnya. Orang Arab menyebutnya sebagai adh-dharî’. Adapun di akhirat, duri dari api.24
Allah SWT berfirman: Lâ yusminu wa lâ yughnî min jû’ (yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar). Artinya, adh-dharî’ tidak menggemukkan bagi pemakannya. Bagaimana bisa orang yang makan duri bisa gemuk? Para mufassir mengatakan bahwa ketika ayat ini turun, orang-orang musyrik berkata, “Sesungguhnya unta kami juga gemuk dengan memakan duri.Kemudian turun ayat ini. Mereka juga telah berdusta karena sesungguhnya unta digembalakan dengan rumput hijau. Apabila rumput itu kering, unta-unta itu pun tidak mau memakannya.25
Bukan hanya tidak menggemukkan, bahkan sama sekali tidak mengenyangkan.Wa lâ yughnî min jû’ berarti tidak mengenyangkan atau menghilangkan kelaparan yang menimpa mereka.26
Ancaman Mengerikan
Ayat-ayat ini menceritakan secara detail azab neraka yang amat dahsyat di neraka. Para penghuni neraka itu wajahnya tertunduk diliputi kehinaan. Mereka diterpa  keletihan tiada henti akibat berbagai siksa yang ditimpakan kepada mereka.
Mereka dimasukkan ke dalam neraka yang dipenuhi dengan api yang menyala-nyala. Mereka tidak diberi minuman kecuali minuman yang menambah siksa bagi mereka, yakni minuman yang berasal dari air mendidih yang amat panas hingga mencapai batas puncak paling panas. Allah SWT juga berfirman:
كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ
Sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya? (QS Muhammad [47]: 15).
Demikian pula makanan. Dalam surat ini ditegaskan bahwa tidak ada makanan buat mereka kecuali adh-dharî’, makanan yang tidak membuat mereka menjadi gemuk dan kenyang. Sebab, sesungguhnya itu bukanlah makanan. Itu adalah azab yang menambah kepedihan mereka. Dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:
وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ وَعَذَابًا أَلِيمًا
Makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih (QS al-Muazzammil [73]: 13).
Semua itu merupakan ancaman sangat mengerikan. Bagi siapa pun yang menggunakan akalnya, tidak akan berani melakukan tindakan yang dapat menjerumuskan dirinya tercebur ke dalam neraka. Betapa pun besar kenikmatan yang didapat di dunia, tak akan membuat berselera untuk mendapatkan jika akhirnya harus menjadi penghuni neraka. Sebab, siksa yang bakal diterima jauh lebih dahsyat daripada kenikmatan dunia.
Dalam ayat ini memang tidak dijelaskan secara lahiriah siapakah para pemilik wajah yang tunduk terhina itu. Kendati demikian, telah jelas siapakah sesungguhnya mereka. Sebab, ini dijelaskan dalam banyak ayat al-Quran. Mereka adalah pelaku kekufuran, kemaksiatan dan kejahatan. Allah SWT berfirman:
وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ *يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّينِ *وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِينَ *
Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.Mereka masuk ke dalamnya pada Hari Pembalasan. Mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu  (QS Al Infithar [82]: 14-16).
Maka dari itu, selagi masih diberikan kesempatan, para pelaku kejahatan itu hendaknya segera bertobat sebelum menyesal. Penyesalan tidaklah berguna.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

[Tafsir QS:Ibrahim:7-8] Mensyukuri nikmat, Menaati Syariah


al-quran-yang-mulia.jpg (509×339)Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

  ٧. وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ 
٨. وَقَالَ مُوسَى إِن تَكْفُرُواْ أَنتُمْ وَمَن فِي الأَرْضِ جَمِيعاً فَإِنَّ اللّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ 
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".  Dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (ni'mat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS: Ibrahim:7-8)

Tidak ada yang bisa membantah besarnya kenikmatan yang dikaruniakan allah SWT kepada manusia. Demikian besarnya hingga manusia mustahil bisa menghitungnya (lihat QS An Nahl (16):1).

Sesudah selayaknya manusia bersyukur kepada allah. Yang maha pemberi kenikmatan.bukan malah sebaliknya mengingkari brbagai kenikmatan tersebut.

                Amat banyak ayat dan hadist yang memerintahkan manusia untuk bersyukur. Pahala besar akan di janjikan akan di berikan pelakunya.sebaiknya melarang manusia bersikap ingkar sekaligus memberikan ancaman azab bagi pelakunya. Ayat ini adalah antaranya

Tambahan         
  Allah SWT berfirman :Wa idz ta’adzdzna Robbukum (dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkanmu). Ada keterkaiatan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang perkataan nabi musa as terhadap kaumnya ang mengingatkan mereka terhadap kaumnya yang mengingatkan mereka tentang besarnya nikmat allahntas mereka. Dalam ayat disebutkan:Dan (ingatlah), ketika musa berkata pada kaumnya:”Ingatlah nikmat allah atasu ketika dia menyelamatkanmu dari (Fir’aun dan) pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kamu dengan siska yang pedih,mereka menyembelih anak laki-lakimu, membiarkan hidup anak perempuanmu;dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari tuhanmu” (TQS ibrahim (14): 6). Kemudian dilanjutkan ayat ini yang memberikan dorongan agar bersyukur atas nikmat-Nya sekaligus menyebutkan ancaman bagi orang-orang yang  mengingkrinya

                Kata idz merupakan zharf li al-zaman al-mahdi (kata keterangan waktu lampau) yang berposisi sebagai maf’ul bih (obyek kaliamat) dengan fil’mahzhuf(kata kerja yang dihilangkan adalah udzkur(ingatlah)

                Sedangkan huruf wawu al-athf di awal ayat ini berguna menyambung dengan ayat sebelumnya. Oleh karena itu,sebagaimana dijelaskan al-alusi ayat ini termasuk dalam perkataan Musa as yang diberitakan allah SWT. Kalimat daam ayat ini ma’thuf(disambungkan)dengan kata nikmatal-lah (kenikmatan allah). Sehingga maknanya :ingatlah nikmat allah dan ingatlah ketika mengumumkanya

                Kata ta’adzdzna merupakan bentuk tafa”ala dari kata adzana . dalam bahasa Arab, bentuk tafa’ala terkadang digunakan untuk menyebut af ’ala;sebagamana kata aw’adtuhundan taw”adtuhu yang memiliki kesamaan makna ( aku memberi peringatan kepadanya).kata adzana berarti a’lama (memberitahukan). Sehingga,sebagai mana disebutkan Al jazairi dalam tafsiranya, frase ini bermakana a’alama  Rabbukum (tuhanmu memberitahukan kepadamu).

                Perkara yang di umumkan oleh Allah SWT adalah:la in syakartum la azidannakum (sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambahkan (nikmat)kepadamu). Enurut al Asfahani, kata al syukr berartitashawwur al-ni’mah wa izhariha (menggambarkan kenikmatan dalam benak dan menampakkannya). Fakhrudin Ar Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata tersebut untuk pengakuan terhadap kenikmatan baik memberi nikmat yang bisa di ketaui dengan penghormatan terhadap nya dan menempatkan jiwa dalam jiwa tersebut.

                Di jelaskan Ismail Haqqi dalam Ruh Al-Bayan ketika menafsiran QS Al- Kaustsar bahwa syukur di wujudkan dengan hati lisan dan perbuatan. Syukur dengan hati adalah mengetahui bahwa berbagai kenikmatan tersebut berasal dari-Nya juga dari yang lain. Syukur dengan lisan adalah dengan memuji dan memnyanjung memberi nikmat. Sedangkan bersyukur dengan pebuatan adalah dengan menggunakan kenikmatan tersebut dengan bersikap loyal dan rendah hati terhadap-Nya. Ini sejalan dengan penjelasan Abdur Rahman Al Sa’di dalam tafsirannnya, Taysir Al Karim Al Rahman, Bahwa al syukr adalah pengakuan hai terhadap nikmat-nikmat Allah, Memuji-Nya atas kenikmatan tersebut, dan menggunakannya dalam keridhaan Allah SWT. Al Zamaksyari mengatakan dalam Al Kasysyaf, bentuk syukur tersebut di wujudkan dalam bentuk keimanan yang bersih dan amal shalih. Sahal Bin Abdullah, sebagai mana di kutip Al Qurthubi dalam tefsirnya, upaya sungguhsungguh dalam ketaatan di sertai dengan meninggalkan kemaksiatan,  baik dalam keadaan sepi maupun ramai. Semua penjelasan tersebut menunjukkan bahwa syukur meniscayakan terhadap syari’ah.

 Ketika itu dilakukan, maka akan di janjikan : Ia adidannakum (sungguh aku tambah kepadamu). Artinya, ditambah ddengan kenikmata. Fakhruddin Al Razi dalam mafatih Al Ghayb mengatakan, “ketahuilah, mkasud ayat ini adalah penjelasan bahwa barang siapa menyibukkan dengan besyukur kepada nikmat-nikmat Allah, maka Allah akan menambahkannya dengan berbagai kenikmatan dari-Nya. “Bahwa yang akan di tambahkankepada oarng ysng bersyukur adalah kenkmatan, juga merupakan kesimpulan para mufassir lainnya, seperti Al Thabari, Al Nasafi, Al Bhaiadawi, Al Saukani, Al Sa’d dan lain-lain. Bertolak dari ayat ini, al-Qurthbi menyimpulkan bahwa syukur merupkan sebab bagi penambahan sikap

                Ayat ini juga menunjukkan secara pasti bahwa balasan kebaikan akan kembali kepada pelakunya ini seperti di tegaskan Allah SWT dalam firman-Nya : dan barang siapa yang bersyukur untuk dirinya sendiri : dan barang siapa yang tidak bersyukur (TQS Luqman (31):12)

Azab bagi yang mengingkari

Setelah dijelaskan balasan bagi orang yng bersyukur,  kemudian di jelaskan bagi orang berlaku sebaliknya. Allah SWT berfirman : wala in k afartum(dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku)). Kata al Kufrbisa bermakna dhid al iman(kebaikan dari iman). Bisa juga berati zehud al ni’mah (mengingkari kenikmatan). Demikian pula penjelasan Abu Bakar ar Razi dalam mukhtar Al Shihhah. Dalam konteks ayat ini, tentu yang dimaksudkan adalah makna yan kedua, yakni kufr al-ni’mah (mengingkari kenikmatan).

                Terhadap orang-orang yang mengingkari nikmat tersebut di ancam dengan azab-Nya. Allah STW berfirman: inna adzabi lasysdid (maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih). Dijelaskan Al Wahidi Al Naisaburi dalam tafsirnya Al Wajiz Fi tafsir Al-Kitab Al-Aziz, ini merupakan ancaman berupa azab terhadap pengingkar nikmat. Menurut Al Nasafi, azab tersebut di dunia berupa di cabutnya nikmat, sedangkan di akhirat berupa ssiksa yang terus menerus.

                Termasuk dari nikmat dunia yang adalah rezeki. Kenikmatan rezeki tersebut bisa dicabut karena dosa-dosa yang dikerjakan hamba. Nabi SAW bersabda:”Sseseungguhnya seorang hamba dihalangi rezekinya di sebabkan dosa yang menimpanya.” HR. Ahmad dari Tsauban).

                Adanya ancaman yang kerasmitu menunjukkan bahwanperintah bersyukur tersebut berhukum wajib. Perintah bersyukur disebut kan dalm banyak dali, seperti QS Al-Baqarah (2): 152 ,172, An-Nahl(16):114, Al Ankabut(29): 17 dan lain-lain. Selain mendapatkan pahala dan nikmat,pelakunya juga terpelhara dari siksa-Nya.Allah SWT berfirman: Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?  (QS An Nisa’m(4): 147).

                Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah SWT berfirman: waqala musa in takfuru antum wa man fi al-ardhjami’an(an) (dan musa berkata: “jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah). Artinya, kamu tidak mau ingkar kepada nikmat-nikmat Allah dan tidak mengimani-Nya. Demikian  As Samar qandi dalam tefsirnya. Atau seperti penjelasan Al Saukani, “Apabila kamu dan seluruh makhluk mengingkari nikmat-nikmat Allah”.

                Kalaupun itu terjadi, maka: fa inna-lah la Ghaniyy hamid (maka sesungguhnya Allah maha Kaya agi maha Terpuji). Kata Ghaniyy berarti Allah tidak membutuhkan syukurmu dan tidak membuatnya berkurang sediitpun. Sedangkan hamid, artinya Allah layak terhadap pujian karena kebesaran kenikmatan-Nya meskipun mereka tidak bersyukur. Atau, Dia dipuji oleh selain kalian, yakni para malaikat. Demikan penjelasan Al Syaukani dalam tafsirnya,

                Dengan demikian, pengingkaran yang dilakukan manusia sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi Allah SWT. Sebaliknya, justru mendatngkan bahaya bagi pelakunya sebagaimana di tegaskan dalam ayat sebelumnya..

                Bertolak dari ayat-ayat ini, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bersyukur kepada-Nya, baik dengan hati, lisan maupun tindakan. Sebagaimana telah di terangkan di muka, bersyukur dengan tindakan adalah menaati syariah dan menerapkannya dalam kehidupan kaffah. Terhadap pelakunya, akan di berikan tambahan kenikmatan yang lebih besar. Namun sebaliknya, jika mengingkari nikmat-Nya, membangkang atas perintah-Nya, maka bersiaplah menerima azab yang sangat dahsyat. Wal-lah a’lam bi al-shaab